A.
Asumsi Dasar Bimbingan dan Konseling
Blacher (George dan Cristian, 1990)
mengemukakan lima asumsi dasarkonseling.[1]
Kelima asumsi tersebut adalah :
1.
Dalam
konseling, klien tidak dianggap sebagai orang yang sakit mental, tetapi
dipandang memiliki kemampuan untuk memilih tujuan, membuat keputusan dan secara
umum menerima tanggung jawab dari tingkah lakunya di kemudian hari.
2.
Konseling
berfokus pada saat ini dan masa depan, tidak berfokus pada pengalaman masa
lalunya.
3.
Klien
adalah klien, bukan pasien. Konselor bukan figure yang memiliki otoritas tetapi
secara esensial sebagai guru dan patner klien sebagaimana mereka bergerak
secara mutual dalam mendefinisikan tujuan.
4.
Konselor
secara moral tidak netral, tetapi memilki nilai, perasaan dan standar untuk
dirinya.
5.
Konselor
memfokuskan pada perubahan tingkah laku bukan hanya membuat klien sadar.
B.
Landasan Konseling
1.
Landasan
Filosofis
Kata filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani : philos berarti
cinta, dan shopos berarti bijaksana. Jadi filosofis berarti kecintaan
terhadap kebijaksanaan.[2]
Kamus Webster New Universal memberikan pengertian bbahwa
filsafat merupakan ilmu yang mempelajari kekuatan yang didasari proses berfikir
dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum dasar yang
mengatur alam semesta serta mendasari semua pengetahuan dan kenyataan, termasuk
studi tentang estetika, etika, logika, metafisika, dan lain sebagainya.[3]
Tindakan yang berlandaskan filosofis merupakan tindakan yang
terarah, terpilih, terkendali, dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan
etis, serta dapat memenuhi tuntutan estetika.
Pemikiran filosofis terkait dalam pelayanan bimbingan dan konseling
yaitu tentang hakikat manusia, tujuan dan tugas kehidupan.
1.
Hakikat
Manusia
Pemahaman hakikat manusia harus menyeluruh tidak boleh
dilihat dari satu segi
saja. Seperti hakikat manusia dalam teori evolusi
Charles
Darwin dilihat dari segi biologis saja. Keberadaan manusia
bersifat multi dimensional.
Para penulis
barat memberikan deskripsi tentang hakikat manusia (antara lain dalam Patterson, 1966, Alblaster
dan Lukes, 1971; Thompson dan Rudolph, 1983).
1.
Manusia
adalah makhluk rasional, mampu berpikir dan mempergunakan ilmu.
2.
Manusia
hakikatnya positif, dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk,
tetapi kehidupannya berupaya menjadi baik.
3.
Manusia
dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
4.
Manusia
berupaya untuk tetap hidup, tumbuh dan memperkembangkan hubungan yang akrab
dengan sesamanya.
Gambaran di atas lebih lengkap dengan beberapa hakikat manusia di
bawah ini :
1.
Manusia
adalah makhluk. Dari tinjauan agama manusi terikat dengan khaliknya untuk
beribadah demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.
Manusia
adalah makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya bahkan dijadikan pemimpin
bagi makhluk-makhluk lainnya di bumi.
3.
Keberadaan
manusia dilengkapi dengan empat dimensi kemanusiaan yaitu dimensi keindividualan,
kesosialan dan keberagamaan.
Mengetahui hakikat manusia tersebut seorang konselor dalam
melakukan pelayanan harus berlandas pada
hakikat manusia itu sendiri.
2.
Tujuan
dan Tugas Kehidupan
Adler mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan psikis adalah
“menjamin terus berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan di atas bumi,
dan memungkinkan terselesaikannya dengan aman perkembangan manusia.
Sedangkan Jung (1958) melihat bahwa kehidupan psikis manusia
mencari keterpaduan, dan di dalamnya terdapat dorongan istinktual ke arah
keutuhan dalam hidup sehat.
Witney dan Sweeney mengemukakan ciri-ciri hidup sehat sepanjang
hayat dalam lima kategori, yaitu :
Tugas kehidupan 1 : Spiritual
Dalam kategori ini
agama menjadi sumber inti hidup sehat. Agama sebagai sumber moral, etika dan
aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan kebenaran dan
kesucian hidup manusia. Karakter dan gaya hidup perorang dikembangkan dengan
memperhatikan keharmonisan dengan khalik.
Tugas kehidupan 2 : Pengaturan Diri
Seseorang yang
mengamalkan hidup sehat memiliki sejumlah ciri-ciri yang akan mengkoordinasi
hidup dengan pola tingkah laku yang bertujuan tidak seadanya, melalui
pengarahan, pengendalian dan pengelolaan sesuai norma-norma di masyarakat.
Tugas kehidupan 3: Bekerja
Dengan bekerja
seseorang akan mendapatkan keuntungan ekonomi juga sosialisasi, sehingga dapat
menunjang kehidupan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Tugas kehidupan 4 : Persahabatan
Persahabatan
memberikan tiga keutamaan kepada hidup sehat, yaitu :
1)
Dukungan
emosional-kedekatan, perlindungan, rasa aman kegembiraan.
2)
Dukungan
penyediaan – penyediaan kebutuhan fisik sehari-hari,
bantuan keuangan.
3)
Dukungan
informasi- nasihat, peringatan, petunjuk.
Tugas
Kehidupan 5: Cinta
Dengan cinta
hubungan seseorang dengan orang lain saling mempercayai, terbuka, bekerjasama,
dan saling memberikan komitmen yang kuat
Hakikat
manusia dengan dimensi kemanusiaannya serta segenap tujuan dan tugas kehidupan
menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan bimbingan dan konseling, maka dari
itu pemahaman mengenai seluk-beluk manusia wajib bagi para konselor.
2.
Landasan
Psikologis
Psikologi
merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Tingkah laku adalah perwujudan
hasil interaksi antara keadaan intern dan ekstern.
Landasan psikologis dalam bimbingan dan
konseling memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi
sasaran layanan. Hal ini diperlukan karena ruang lingkup bimbingan dan
konseling adalah ruang lingkup klien, yang perlu diubah atau dikembangkan.[4]
Kajian landasan
psikologis :
1.
Motif dan
Motivasi
Motif adalah
dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Motif dikelompokan
menjadi dua yaitu motif primer dan sekunder. Motif primer didasari oleh
kebutuhan asli yang ada pada diri individu sejak ia lahir ke dunia. Seperti
dorongan untuk makan, bernafas, bergerak dan sebagainya. Sedangkan motif
sekunder tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk bersamaan dengan proses perkembangan
individu yang bersangkutan.
Motivasi adalah motif yang sedang
aktif kekuatannya dapat
meningkat sampai pada taraf yang sangat
tinggi.
2.
Pembawaan dan
Lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi
mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut
pembawaan. Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti
warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan
fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan ciri-ciri kepribadian tertentu.
Kondisi yang menjadi
pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan memerlukan prasarana dan sarana yang ada dalam lingkungan individu
yang bersangkutan. Optimalisasi hasil pertumbuhan dan perkembangan isi
pembawaan itu amat tergantung pada tersedia dan dinamika prasarana serta sarana
yang ada di lingkungan itu.
(Sutton-smith, 1973)
menegaskan bahwa faktor yang menentukan tinggi-rendahnya inteligensi seseorang
seseorang adalah interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Demikian juga untuk
pertumbuhan fisik, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian.
3. Perkembangan individu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial
4.
Belajar
Belajar
merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
5.
Kepribadian
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang
aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
· Karakter;
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam
memegang pendirian atau pendapat.
· Temperamen; yaitu disposisi
reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang dari lingkungan.
· Sikap;
sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
· Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap
rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau
putus asa.
· Responsibilitas (tanggung
jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang
dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
· Sosiabilitas; yaitu
disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat
pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang
lain.
3.
Landasan
religius
Dalam landasan
religius ini akan ditekankan pada tiga hal yang mendasari pelayanan bimbingan
dan konseling, yaitu :
a.
Manusia
sebagai makhluk tuhan
Allah SWT. Memberikan kemampuan potensial kepada manusia, yautu
mengarahkan hubungan manusia dengan sesamanya serta dunia sekitarnya. Penerapan
kemampuan potensial tersebut secara langsung berkaitan dengan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mewujudkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini
hendaklah lengkap dan seimbang dalam arti mencakup harmonisasi hubungan manusia
dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia serta hubungan manusia
dengan dunia sekitarnya.
b.
Sikap
Keberagaman
Kehidupan beragama merupakan gejala universal. Pada bangsa –bangsa
dan kelompok-kelompok manusia dari masa ke masa selalu dijumpai praktek-praktek
kehidupan keberagamaan ini. Sikap keberagamaan menjadi tumpuan bagi
keseimbangan hidup dunia akhirat. Agama yang berdasarkan pada Tuhan yang Esa,
firman-firman-Nya memadukan secara dinamis keterkaitan antara kehidupan dunia
dan akhirat.
c.
Peranan
Agama
Berkaitan dengan itu dalam Bimbingan dan Konseling yang merupakan
salah satu upaya pemuliaan kemanusiaan manusia) juga diperankan kaidah-kaidah
agama, berkenaan dengan pelayanan terhadap klien dan kontek sosial budaya.
Akhirnya untuk memberikan peran positif agama dalam bimbingan-konseling, dan
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal-hal berikut perlu
diperhatikan ; pertama, konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan
dengan baik keberagamaannya ; kedua, konselor sedapat mungkin mampu mentransfer
kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan permasalahan klien ;
dan ketiga, konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama
kliennya.
4.
Landasan Sosial Budaya
Seluruh unsur-unsur sosial budaya
dalam segenap tingkatnya tersebut membentuk unsur-unsur subyektif pada diri
individu. Unsur-unsur subyektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi,
sikap, kepercayaan, penilaian, harapan dan keinginan, ingatan, pendapat, persepsi
tentang peranan, steriotipe dan nilai-nilai. Perbedaan mengenai hal-hal
subyektif tersebut hendaklah mnjadi perhatian khusus oleh konselor yang akan
melaksanakan upaya bimbingan dan konseling, karena aspek-aspek budaya tersebut
tentu akan mempengaruhi tujuan, proses, sasaran, dan alasan penyelenggaraan
koseling.[5]
5.
Landasan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknolgikomputer, interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya
(klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga
dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk
cyber counseling. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang
teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan
teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, konselor berperan
pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (dalam Prayitno,
2003). Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan
teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran
kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Guru BK maupun guru mata pelajaran disarankan untuk menguasai
keterampilan penggunaan teknologi modern karena dunia maya akan menjadi peluang
untuk dapat digunakan sebagai media dalam layanan bimbingan dan konseling.
6. Landasan Pendagogis
Ditambahkan oleh Prayitno (2003),
berkenaaan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, bahwa
dalam pelaaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam segala bidang
diperlukan pula landasan pendagogis yang ditinjau dari tiga segi, yaitu : (a)
pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan salah satu bentuk
kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling
dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan
konseling.
7.
Landasan
Yuridis Formal
Landasan yuridis formal berkaitan
dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang
Dasar, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, serta berbaga aturan dan
pedoman lainnya yang mengatur tentang pemyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Indonesia.[6]
[1]
Latipun, Psikologi Konseling, (Malang : UMM, 2011), Hal.11
[2] Prayitno
dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2004), hal.137
[3] Ibid.,
hal. 139
[4]
154
[5]Shahudi siradj, Pengantar Bimbingan & Konseling
(Surabaya : PT. Revka Petra Media, 2012), hlm 84, 86, 90, 93
[6]Sutirna, Bimbingan dan Konseling'Pendidikan Formal,
Nonformal dan Informal (Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET, 2013), hlm 47, 48, 49
0 komentar:
Posting Komentar