Kamis, 20 Maret 2014

Asumsi Dasar Bimbingan dan Konseling



       A.    Asumsi Dasar Bimbingan dan Konseling
Blacher (George dan Cristian, 1990) mengemukakan lima asumsi dasarkonseling.[1] Kelima asumsi tersebut adalah :

    1.   Dalam konseling, klien tidak dianggap sebagai orang yang sakit mental, tetapi dipandang memiliki kemampuan untuk memilih tujuan, membuat keputusan dan secara umum menerima tanggung jawab dari tingkah lakunya di kemudian hari.
2.   Konseling berfokus pada saat ini dan masa depan, tidak berfokus pada pengalaman masa lalunya.
3.   Klien adalah klien, bukan pasien. Konselor bukan figure yang memiliki otoritas tetapi secara esensial sebagai guru dan patner klien sebagaimana mereka bergerak secara mutual dalam mendefinisikan tujuan.
4.   Konselor secara moral tidak netral, tetapi memilki nilai, perasaan dan standar untuk dirinya.
5.   Konselor memfokuskan pada perubahan tingkah laku bukan hanya membuat klien sadar.

B.     Landasan Konseling
1.      Landasan Filosofis
Kata filosofi atau filsafat berasal dari bahasa Yunani : philos berarti cinta, dan shopos berarti bijaksana. Jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan.[2]
Kamus Webster New Universal memberikan pengertian bbahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari kekuatan yang didasari proses berfikir dan bertingkah laku, teori tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum dasar yang mengatur alam semesta serta mendasari semua pengetahuan dan kenyataan, termasuk studi tentang estetika, etika, logika, metafisika, dan lain sebagainya.[3]
Tindakan yang berlandaskan filosofis merupakan tindakan yang terarah, terpilih, terkendali, dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan etis, serta dapat memenuhi tuntutan estetika.
Pemikiran filosofis terkait dalam pelayanan bimbingan dan konseling yaitu tentang hakikat manusia, tujuan dan tugas kehidupan.
1.      Hakikat Manusia
Pemahaman hakikat manusia harus menyeluruh tidak boleh
                       dilihat dari satu segi saja. Seperti hakikat manusia dalam teori evolusi
                       Charles Darwin dilihat dari segi biologis saja. Keberadaan manusia
                      bersifat multi dimensional.
Para penulis barat memberikan deskripsi tentang hakikat manusia  (antara lain dalam Patterson, 1966, Alblaster dan Lukes, 1971; Thompson dan Rudolph, 1983).
1.      Manusia adalah makhluk rasional, mampu berpikir dan mempergunakan ilmu.
2.      Manusia hakikatnya positif, dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk, tetapi kehidupannya berupaya menjadi baik.
3.      Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapi
4.      Manusia berupaya untuk tetap hidup, tumbuh dan memperkembangkan hubungan yang akrab dengan sesamanya.
Gambaran di atas lebih lengkap dengan beberapa hakikat manusia di bawah ini :
1.      Manusia adalah makhluk. Dari tinjauan agama manusi terikat dengan khaliknya untuk beribadah demi mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Manusia adalah makhluk yang tertinggi dan termulia derajatnya bahkan dijadikan pemimpin bagi makhluk-makhluk lainnya di bumi.
3.      Keberadaan manusia dilengkapi dengan empat dimensi kemanusiaan yaitu dimensi keindividualan, kesosialan dan keberagamaan.
Mengetahui hakikat manusia tersebut seorang konselor dalam melakukan pelayanan harus  berlandas pada hakikat manusia itu sendiri.

2.      Tujuan dan Tugas Kehidupan
Adler mengemukakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan psikis adalah “menjamin terus berlangsungnya eksistensi kehidupan kemanusiaan di atas bumi, dan memungkinkan terselesaikannya dengan aman perkembangan manusia.
Sedangkan Jung (1958) melihat bahwa kehidupan psikis manusia mencari keterpaduan, dan di dalamnya terdapat dorongan istinktual ke arah keutuhan dalam hidup sehat.
Witney dan Sweeney mengemukakan ciri-ciri hidup sehat sepanjang hayat dalam lima kategori, yaitu :
Tugas kehidupan 1 : Spiritual
            Dalam kategori ini agama menjadi sumber inti hidup sehat. Agama sebagai sumber moral, etika dan aturan-aturan formal berfungsi untuk melindungi dan melestarikan kebenaran dan kesucian hidup manusia. Karakter dan gaya hidup perorang dikembangkan dengan memperhatikan keharmonisan dengan khalik.
Tugas kehidupan 2 : Pengaturan Diri
            Seseorang yang mengamalkan hidup sehat memiliki sejumlah ciri-ciri yang akan mengkoordinasi hidup dengan pola tingkah laku yang bertujuan tidak seadanya, melalui pengarahan, pengendalian dan pengelolaan sesuai norma-norma di masyarakat.
Tugas kehidupan 3: Bekerja
            Dengan bekerja seseorang akan mendapatkan keuntungan ekonomi juga sosialisasi, sehingga dapat menunjang kehidupan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Tugas kehidupan 4 : Persahabatan
            Persahabatan memberikan tiga keutamaan kepada hidup sehat, yaitu :
1)      Dukungan emosional-kedekatan, perlindungan, rasa aman kegembiraan.
2)      Dukungan penyediaan – penyediaan kebutuhan fisik sehari-hari,
 bantuan keuangan.
3)      Dukungan informasi- nasihat, peringatan, petunjuk.
Tugas Kehidupan 5: Cinta
Dengan cinta hubungan seseorang dengan orang lain saling mempercayai, terbuka, bekerjasama, dan saling memberikan komitmen yang kuat
Hakikat manusia dengan dimensi kemanusiaannya serta segenap tujuan dan tugas kehidupan menjadi landasan bagi konsepsi dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Manusia adalah segala-galanya bagi pelayanan bimbingan dan konseling, maka dari itu pemahaman mengenai seluk-beluk manusia wajib bagi para konselor.

2.      Landasan Psikologis
Psikologi merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Tingkah laku adalah perwujudan hasil interaksi antara keadaan intern dan ekstern.
 Landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan. Hal ini diperlukan karena ruang lingkup bimbingan dan konseling adalah ruang lingkup klien, yang perlu diubah atau dikembangkan.[4]
Kajian landasan psikologis :
1.      Motif dan Motivasi
Motif adalah dorongan yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Motif dikelompokan menjadi dua yaitu motif primer dan sekunder. Motif primer didasari oleh kebutuhan asli yang ada pada diri individu sejak ia lahir ke dunia. Seperti dorongan untuk makan, bernafas, bergerak dan sebagainya. Sedangkan motif sekunder tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk bersamaan dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan.
            Motivasi adalah motif yang sedang aktif kekuatannya dapat
 meningkat sampai pada taraf yang sangat tinggi.
2.      Pembawaan dan Lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan ciri-ciri kepribadian tertentu. 
Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan memerlukan prasarana dan sarana yang ada dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Optimalisasi hasil pertumbuhan dan perkembangan isi pembawaan itu amat tergantung pada tersedia dan dinamika prasarana serta sarana yang ada di lingkungan itu.
(Sutton-smith, 1973) menegaskan bahwa faktor yang menentukan tinggi-rendahnya inteligensi seseorang seseorang adalah interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Demikian juga untuk pertumbuhan fisik, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian.

3.      Perkembangan individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial
4.      Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
5.      Kepribadian
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
·   Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
·   Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
·   Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
·   Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
·   Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
·   Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

3.   Landasan religius
Dalam landasan religius ini akan ditekankan pada tiga hal yang mendasari pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu :
a.       Manusia sebagai makhluk tuhan
Allah SWT. Memberikan kemampuan potensial kepada manusia, yautu mengarahkan hubungan manusia dengan sesamanya serta dunia sekitarnya. Penerapan kemampuan potensial tersebut secara langsung berkaitan dengan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam mewujudkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini hendaklah lengkap dan seimbang dalam arti mencakup harmonisasi hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia serta hubungan manusia dengan dunia sekitarnya.
b.      Sikap Keberagaman
Kehidupan beragama merupakan gejala universal. Pada bangsa –bangsa dan kelompok-kelompok manusia dari masa ke masa selalu dijumpai praktek-praktek kehidupan keberagamaan ini. Sikap keberagamaan menjadi tumpuan bagi keseimbangan hidup dunia akhirat. Agama yang berdasarkan pada Tuhan yang Esa, firman-firman-Nya memadukan secara dinamis keterkaitan antara kehidupan dunia dan akhirat.
c.       Peranan Agama
Berkaitan dengan itu dalam Bimbingan dan Konseling yang merupakan salah satu upaya pemuliaan kemanusiaan manusia) juga diperankan kaidah-kaidah agama, berkenaan dengan pelayanan terhadap klien dan kontek sosial budaya. Akhirnya untuk memberikan peran positif agama dalam bimbingan-konseling, dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka hal-hal berikut perlu diperhatikan ; pertama, konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keberagamaannya ; kedua, konselor sedapat mungkin mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan permasalahan klien ; dan ketiga, konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama kliennya.


4.    Landasan Sosial Budaya
Seluruh unsur-unsur sosial budaya dalam segenap tingkatnya tersebut membentuk unsur-unsur subyektif pada diri individu. Unsur-unsur subyektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap, kepercayaan, penilaian, harapan dan keinginan, ingatan, pendapat, persepsi tentang peranan, steriotipe dan nilai-nilai. Perbedaan mengenai hal-hal subyektif tersebut hendaklah mnjadi perhatian khusus oleh konselor yang akan melaksanakan upaya bimbingan dan konseling, karena aspek-aspek budaya tersebut tentu akan mempengaruhi tujuan, proses, sasaran, dan alasan penyelenggaraan koseling.[5]

5.      Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknolgikomputer, interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk cyber counseling. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, konselor berperan pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (dalam Prayitno, 2003). Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Guru BK maupun guru mata pelajaran disarankan untuk menguasai keterampilan penggunaan teknologi modern karena dunia maya akan menjadi peluang untuk dapat digunakan sebagai media dalam layanan bimbingan dan konseling.

6.  Landasan Pendagogis
Ditambahkan oleh Prayitno (2003), berkenaaan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, bahwa dalam pelaaksanaan layanan bimbingan dan konseling dalam segala bidang diperlukan pula landasan pendagogis yang ditinjau dari tiga segi, yaitu : (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.

7.      Landasan Yuridis Formal
Landasan yuridis formal berkaitan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, serta berbaga aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang pemyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.[6]




[1] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang : UMM, 2011), Hal.11
[2] Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), hal.137
[3] Ibid., hal. 139
[4] 154
[5]Shahudi siradj, Pengantar Bimbingan & Konseling (Surabaya : PT. Revka Petra Media, 2012), hlm 84, 86, 90, 93
[6]Sutirna, Bimbingan dan Konseling'Pendidikan Formal, Nonformal dan Informal (Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET, 2013), hlm 47, 48, 49

0 komentar:

Posting Komentar